Minggu, 10 Desember 2023

Lumpia Semarang dan Sejarah Akulturasi Budaya Jawa-Tionghoa


 

Lumpia adalah kuliner khas Kota Semarang. Tidak heran, di setiap penjuru Ibu Kota Jawa Tengah ini, kita dengan mudah menemui beragam kedai penjual lumpia.

Awal Agustus 2023, Mongabay Indonesia berkunjung ke kedai “Lunpia Semarang Gg Lombok No 11”. Seperti namanya, kedai ini terletak di Gang Lombok, Nomor 11, Purwodinatan, Kota Semarang. Tempat ini disebut sebagai kedai lumpia tertua di Kota Semarang. Usianya sudah lebih dari satu abad.

Untung Usodo, generasi keempat pengelola kedai Lunpia Gang Lombok mengatakan, sejak dulu lokasi kedai tidak pernah berubah. Bangunannya sederhana, di pojok sisi jalan menghadap sungai atau Kali Semarang.

“Dari dulu keluarga kami jualan di sini. Mulai berdagang sekitar tahun 1800-an. Terhitung, sudah 4 generasi, lebih satu abad,” jelas Untung.

Bahan utama lumpia Semarang Gang Lombok adalah rebung, dicampur udang dan telur. Semuanya terbungkus kulit lumpia hingga berbentuk bulat tabung memanjang. Hampir semua bahan dalam lumpia seperti rebung, udang, dan lokio punya nilai nutrisi tinggi.

Lumpia Semarang lebih enak dimakan beserta acar mentimun, daun bawang [lokio], cabai rawit, dan dilumuri sedikit saos. Rasanya didominasi manis dan gurih, sekaligus menyegarkan.

Lumpia Semarang bisa langsung dimakan [basah] ataupun digoreng [kering]. Keduanya punya cita rasa tersendiri. Satu lumpia Semarang Gang Lombok ini dihargai 20 ribu rupiah.

 

“Terbilang wajar, karena ukurannya besar. Makan satu saja sudah cukup mengenyangkan,” kata Aldyan Ismail, wisatawan asal Sumatera yang baru pertama kali mencicipi lumpia.

Sejak 2014, lumpia Semarang masuk sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.

“Lumpia atau lunpia keduanya benar. Lun atau lum berarti lunak atau lembut, bergantung pada dialek pengucapnya. Pia berarti kue. Dari penyebutan ini, sebenarnya lumpia seharusnya tidak digoreng, melainkan basah,” dikutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id.

 

Akulturasi Budaya Jawa-Tionghoa

 

Lumpia Semarang sarat akan sejarah dan menjadi salah satu produk akulturasi budaya Jawa-Tionghoa. Dari namanya, lumpia Semarang berasal dari gabungan kata ‘lun’ yang artinya gulung [Bahasa Jawa] dan pia yang artinya kue [Bahasa Hokkien].

Mengutip skripsi Fiyani, [2019], sejarah awal kuliner lumpia Semarang terbilang unik, yakni dari sepasang suami istri etnis Tionghoa dan Jawa yang menikah pada abad ke-19.

Dikisahkan, saat itu Tjoa Thay Joe, seorang laki-laki dari Fujian, Tiongkok, tinggal dan menetap di sebuah perkampungan Jawa. Ia bertetangga dengan Wasi yang kelak akan menjadi istrinya. Keduanya merupakan penjual makanan kecil, namun makanan Wasi lebih diminati dan selalu habis terjual. Hal ini membuat Tjoa Thay Joe penasaran lalu bertanya pada Wasi.

Kedai Lumpia Gg Lombok disebut sebagai kedai lumpia tertua di Kota Semarang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

“Terungkap bahwa ada bahan campuran yang membuat makanan kecil yang dijual Tjoa Thay Joe tidak pernah laku,” tulis Fiyani dalam skripsinya.

Setelah itu, mereka sering bertemu dan bertukar ide kuliner. Inilah yang kemudian memantik rasa cinta keduanya, hingga menikah pada abad ke-19. Sejak saat itu, lahirlah lumpia sebagai kue baru mereka. Nama lumpia tersebut digagas oleh Thoa Thay Joe.

Hingga saat ini, banyak kedai lumpia di Kota Semarang yang sebagian besar pendirinya merupakan keturunan dari Thoa Thay Joe dan Wasi. Seperti kedai Lumpia Gang Lombok, Lumpia Mataram, Lumpia Mbak Lien, dan Lumpia Cik Me Me.

Kota Semarang yang terletak di pesisir utara Jawa punya posisi strategis dalam jalur perdagangan Nusantara. Mulai dari era kerajaan Hindu-Buddha hingga abad ke-19, Semarang ramai dikunjungi berbagai pedagang dari Asia hingga Eropa.

Mobilitas perdagangan di Kota Semarang tidak terlepas dari keberadaan Kali Semarang yang bermuara langsung ke Laut Jawa. Kali Semarang di masa lalu merupakan pelabuhan penting dan menjadi jalur transportasi utama yang mengangkut berbagai hasil alam di Jawa, salah satunya rempah-rempah.

Karena ramai dikunjungi berbagai etnis, masyarakat Kota Semarang tumbuh sebagai masyarakat multikultur. Ini dapat dilihat dari lanskap kampung atau permukiman di sepanjang Kali Semarang yang beragam, dan masih bertahan hingga saat ini. Mulai dari Kampung China yang terletak di sebelah timur Kali Semarang, juga permukiman Eropa [Kota Lama] yang terletak di utara Kampung China. Lalu, Kampung Melayu yang terletak di tepi timur dan tepi barat Kali Semarang, serta Kampung Jawa yang terletak di pertemuan Kali Semarang.

Dari semua etnis yang ada di Semarang, Tionghoa termasuk salah satu yang berhasil beradaptasi dan eksis hingga saat ini.

“Jumlah etnis Tionghoa di Kota Semarang lebih mendominasi dibanding kelompok etnis lainnya. Semarang merupakan meelting pot-nya etnis Tionghoa, karena berdasarkan konsep Feng Shui Semarang merupakan wilayah yang baik untuk melanjutkan kehidupan dan tidak terikat dengan kerajaan, aturannya lebih luas,” tulis Susanti dan Purwaningsih [2015], dalam jurnal Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya.

Pada masa Orde Baru, ketika etnis Tionghoa peranakan Semarang merasakan diskriminasi peraturan pemerintah, lumpia punya peran penting dalam mendukung kehidupan masyarakat etnis Tionghoa.

Meskipun mendapat batasan-batasan dalam melakukan aktivitas ibadah, kepercayaan dan politik, etnis Tionghoa peranakan tetap diberikan kesempatan dalam mengembangkan perekonomian, khususnya dalam hal perdagangan. Hal ini menyebabkan banyaknya toko yang dikuasai etnis Tionghoa peranakan, tak terkecuali industri lumpia yang semakin menjamur di Semarang.

“Lumpia sebagai representasi identitas etnis Tionghoa peranakan Semarang yang tetap bertahan dalam etnis Tionghoa, yang mendapatkan berbagai tekanan,” jelas Susanti dan Purwaningsih.

 

 

0 komentar:

Posting Komentar