Lumpia adalah kuliner khas Kota Semarang. Tidak heran, di
setiap penjuru Ibu Kota Jawa Tengah ini, kita dengan mudah menemui beragam
kedai penjual lumpia.
Awal Agustus 2023, Mongabay Indonesia berkunjung ke kedai
“Lunpia Semarang Gg Lombok No 11”. Seperti namanya, kedai ini terletak di Gang
Lombok, Nomor 11, Purwodinatan, Kota Semarang. Tempat ini disebut sebagai kedai
lumpia tertua di Kota Semarang. Usianya sudah lebih dari satu abad.
Untung Usodo, generasi keempat pengelola kedai Lunpia Gang
Lombok mengatakan, sejak dulu lokasi kedai tidak pernah berubah. Bangunannya
sederhana, di pojok sisi jalan menghadap sungai atau Kali Semarang.
“Dari dulu keluarga kami jualan di sini. Mulai berdagang
sekitar tahun 1800-an. Terhitung, sudah 4 generasi, lebih satu abad,” jelas
Untung.
Bahan utama lumpia Semarang Gang Lombok adalah rebung,
dicampur udang dan telur. Semuanya terbungkus kulit lumpia hingga berbentuk
bulat tabung memanjang. Hampir semua bahan dalam lumpia seperti rebung, udang,
dan lokio punya nilai nutrisi tinggi.
Lumpia Semarang lebih enak dimakan beserta acar mentimun,
daun bawang [lokio], cabai rawit, dan dilumuri sedikit saos. Rasanya didominasi
manis dan gurih, sekaligus menyegarkan.
Lumpia Semarang bisa langsung dimakan [basah] ataupun
digoreng [kering]. Keduanya punya cita rasa tersendiri. Satu lumpia Semarang
Gang Lombok ini dihargai 20 ribu rupiah.
“Terbilang wajar, karena ukurannya besar. Makan satu saja
sudah cukup mengenyangkan,” kata Aldyan Ismail, wisatawan asal Sumatera yang
baru pertama kali mencicipi lumpia.
Sejak 2014, lumpia Semarang masuk sebagai Warisan Budaya Tak
Benda Indonesia.
“Lumpia atau lunpia keduanya benar. Lun atau lum berarti
lunak atau lembut, bergantung pada dialek pengucapnya. Pia berarti kue. Dari
penyebutan ini, sebenarnya lumpia seharusnya tidak digoreng, melainkan basah,”
dikutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id.
Akulturasi Budaya Jawa-Tionghoa
Lumpia Semarang sarat akan sejarah dan menjadi salah satu
produk akulturasi budaya Jawa-Tionghoa. Dari namanya, lumpia Semarang berasal
dari gabungan kata ‘lun’ yang artinya gulung [Bahasa Jawa] dan pia yang artinya
kue [Bahasa Hokkien].
Mengutip skripsi Fiyani, [2019], sejarah awal kuliner lumpia
Semarang terbilang unik, yakni dari sepasang suami istri etnis Tionghoa dan
Jawa yang menikah pada abad ke-19.
Dikisahkan, saat itu Tjoa Thay Joe, seorang laki-laki dari
Fujian, Tiongkok, tinggal dan menetap di sebuah perkampungan Jawa. Ia
bertetangga dengan Wasi yang kelak akan menjadi istrinya. Keduanya merupakan
penjual makanan kecil, namun makanan Wasi lebih diminati dan selalu habis
terjual. Hal ini membuat Tjoa Thay Joe penasaran lalu bertanya pada Wasi.
Kedai Lumpia Gg Lombok disebut sebagai kedai lumpia tertua
di Kota Semarang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
“Terungkap bahwa ada bahan campuran yang membuat makanan
kecil yang dijual Tjoa Thay Joe tidak pernah laku,” tulis Fiyani dalam
skripsinya.
Setelah itu, mereka sering bertemu dan bertukar ide kuliner.
Inilah yang kemudian memantik rasa cinta keduanya, hingga menikah pada abad
ke-19. Sejak saat itu, lahirlah lumpia sebagai kue baru mereka. Nama lumpia
tersebut digagas oleh Thoa Thay Joe.
Hingga saat ini, banyak kedai lumpia di Kota Semarang yang
sebagian besar pendirinya merupakan keturunan dari Thoa Thay Joe dan Wasi.
Seperti kedai Lumpia Gang Lombok, Lumpia Mataram, Lumpia Mbak Lien, dan Lumpia
Cik Me Me.
Kota Semarang yang terletak di pesisir utara Jawa punya
posisi strategis dalam jalur perdagangan Nusantara. Mulai dari era kerajaan
Hindu-Buddha hingga abad ke-19, Semarang ramai dikunjungi berbagai pedagang
dari Asia hingga Eropa.
Mobilitas perdagangan di Kota Semarang tidak terlepas dari
keberadaan Kali Semarang yang bermuara langsung ke Laut Jawa. Kali Semarang di
masa lalu merupakan pelabuhan penting dan menjadi jalur transportasi utama yang
mengangkut berbagai hasil alam di Jawa, salah satunya rempah-rempah.
Karena ramai dikunjungi berbagai etnis, masyarakat Kota
Semarang tumbuh sebagai masyarakat multikultur. Ini dapat dilihat dari lanskap
kampung atau permukiman di sepanjang Kali Semarang yang beragam, dan masih
bertahan hingga saat ini. Mulai dari Kampung China yang terletak di sebelah
timur Kali Semarang, juga permukiman Eropa [Kota Lama] yang terletak di utara
Kampung China. Lalu, Kampung Melayu yang terletak di tepi timur dan tepi barat
Kali Semarang, serta Kampung Jawa yang terletak di pertemuan Kali Semarang.
Dari semua etnis yang ada di Semarang, Tionghoa termasuk
salah satu yang berhasil beradaptasi dan eksis hingga saat ini.
“Jumlah etnis Tionghoa di Kota Semarang lebih mendominasi
dibanding kelompok etnis lainnya. Semarang merupakan meelting pot-nya etnis
Tionghoa, karena berdasarkan konsep Feng Shui Semarang merupakan wilayah yang
baik untuk melanjutkan kehidupan dan tidak terikat dengan kerajaan, aturannya
lebih luas,” tulis Susanti dan Purwaningsih [2015], dalam jurnal Pendidikan
Sejarah Universitas Negeri Surabaya.
Pada masa Orde Baru, ketika etnis Tionghoa peranakan
Semarang merasakan diskriminasi peraturan pemerintah, lumpia punya peran
penting dalam mendukung kehidupan masyarakat etnis Tionghoa.
Meskipun mendapat batasan-batasan dalam melakukan aktivitas
ibadah, kepercayaan dan politik, etnis Tionghoa peranakan tetap diberikan
kesempatan dalam mengembangkan perekonomian, khususnya dalam hal perdagangan.
Hal ini menyebabkan banyaknya toko yang dikuasai etnis Tionghoa peranakan, tak
terkecuali industri lumpia yang semakin menjamur di Semarang.
“Lumpia sebagai representasi identitas etnis Tionghoa
peranakan Semarang yang tetap bertahan dalam etnis Tionghoa, yang mendapatkan
berbagai tekanan,” jelas Susanti dan Purwaningsih.
0 komentar:
Posting Komentar